Home / Cerpen / Musafir Cilik

Musafir Cilik

Ayah…Ibu…kapan ku bisa bertemu kalian lagi ?
Ayah…. Karenaku nyawamu melayang, andai peluru itu membelokan arahnya pasti tak mengenaimu dan sampai saat ini kau baik-baik saja. Kau memang Ayah yang baik, rela mengorbankan nyawanya demi anak nakal sepertiku, aku sangat berdosa padamu Ayah…… Ayah maafkan anakmu ini ?

Ibu……
Karena aku kau diasingkan jauh dariku, karenaku kau menderita karna aku juga kau kehilangan Ayah. Aku memang anak yang tak berguna hanya bisa menyusahkan orang tua. Ibu…. Aku ingin bertemu denganmu ?maafkan kesalahan anakmu ini Ibu….

Anak laki-laki dekil itu melangkah dan terus melangkah. Ia mengenakan celana selutut yang warnanya putih dekil, bagian atasnya tak mengenakan apa-apa, hanya dikepala ia menutupi rambut ikalnya dengan peci yang warnanya tak jauh beda dari celana dekilnya. Kakinya tak beralaskan sandal apalagi sepatu. Badannya yang kurus- kering membuat orang-orang iba melihatnya. Tapi, apakah ada yang iba pada anak yatim malang itu? sedangkan dia berada ditengah hutan yang jauh dari warga. Tapi dia bersyukur karena lolos dari tangan jahat Belanda, kalau saja dia tertangkap. Hari ini, jam ini, menit ini juga ia telah tercatat menjadi salah-satu anggota pekerja Rodi. Dimana kerja paksa itu sangatlah berat, tak ada istirahat. Tapi, disisi lain dia juga bersedih karena berpisah dengan Pak Bupati yang baik hati, yang selalu mengajarinya menulis, membaca juga berhitung. Dari Pak Bupatilah dia bisa menulis surat untuk Ayah dan Ibunya.

Namanya Sunyono anak kecil yang ditinggal mati Ayahnya karena tertembak tentara Belanda, yang ditinggal Ibunya karena diasingkan jauh di Bangka. Kini dia sebatang kara, hidup tanpa tujuan. Tapi walau dia baru berumur 10 tahun dia punya satu kepercayaan yang tak terkalahkan oleh semua orang. Suatu kemantapan yang tertanam dalam hati yang diajarkan Ayah dan Ibunya. Walau dia tak membawa mushaf dia selalu mengalunkan ayat-ayat suci dimana saja. Karena ia yakin Allah SWT melindunginya. Dia hanya membawa sehelai kertas lecek dan pensil pendek yang mulai tumpul pemberian Pak Bupati. Dikertas itulah dia mencurahkan isi hatinya merindukan Ayah dan Ibu juga hal-hal baru yang tengah dialaminya.

Hutan!!!!! Baru kali ini ia menapakkan kakinya dihutan. Hutan yang menurutnya seram, yang banyak memakan manusia, yang hanya dihuni oleh hewan-hewan buas, pohon-pohon yang tinggi, akar-akar raksasa juga ranting-ranting yang bergelantungan semaunya. Apa benar hutan ini menyeramkan ? Untung Sunyono punya kemantapan, jangan menyerah sebelum mencoba, jangan putus asa sebelum membuktikannya.
Sunyono buka hutan itu, ia langkahkan kakinya diatas akar-akar raksasa yang menghalangi kakinya, ia merunduk-runduk melewati ranting-ranting liar yang memergokinya, ia memandang pohon-pohon besar yang menjadikannya teramat kecil, ia dengarkan suara yang bersahutan yang membawanya seakan pada keramaian. Sunyono pasrah, tapi tetap berdo’a, berharap tak terjadi apa-apa pada dirinya. Karna ia selalu ingat dimana, kapan saja Allah SWT pasti melindunginya.

Cuaca hari itu belum terasa panas, jendela hutan mulai terbuka menampakkan sinar yang terang. Pohon-pohon yang rimbun daunnya memulai kegiatan fotosintesisnya membuat Sunyono yang duduk bersandar dibawahnya terasa sejuk, karena lambaian daun-daun yang segar itu. Berapa langkah didepannya bunga-bunga liar mulai merekah menyebarkan bau semerbak mengundang para kumbang menghinggapinya. Suara burung-burung walet yang terdengar begitu damai menelusuri cakrawala timur. Suasana yang jarang dirasakannya. Biasanya pagi ini, warga desa telah sibuk dengan kerja paksanya, tak sedikit wanita yang diseret-seret ditengah jalan, mahkota panjang yang indah dijambaknya seenaknya saja. Mayat-mayat banyak tergeletak, sungguh suasana yang memilukan membuat orang-orang trauma mengingatnya. Apalagi bagi anak kecil seperti Sunyono, pasti ia sangat tertekan, hatinya diluputi kesedihan yang berantai sukar dilupakan.

Perjalanan yang dimulainya ba’da subuh lalu merupakan rintangan sulit baginya. Hawa dingin dan rasa takut menggelugutinya, bulu kuduknya terasa merinding, apalagi waktu ia mulai masuk hutan, suara yang mengerikan menyambutnya, bunga-bunga liar yang tumbuh dimana-mana memamerkan panoramanya. Kakinya tak sanggup melangkah tatkala ia lihat ular besar yang melilit dipohon raksasa. Ular itu mendesis, menjulurkan lidahnya dan mutiara matanya tajam menatap kearah nya. Sunyono seperti patung hidup untuk beberapa menit. Dimenit selanjutnya, dia bersyukur karena ular besar itu tak jadi memangsanya, mungkin ular itu menyadari Sunyono terlalu kecil baginya. Sunyono melanjutkan langkahnya memasuki hutan yang lebih dalam dan…..dibalik ranting-ranting yang bergelantungan, kawanan kera tengah asyik berayun kesana- kemari. Dia kembali terdiam, langkahnya kini dihalangi kawanan Kera yang kelihatannya ganas-ganas. Sunyono membalikan langkahnya duduk dan bersandar dibawah pohon rindang yang menurutnya aman untuk berteduh. Dibawah pohon beringin raksasa itulah Sunyono mulai menulis surat untuk Ayah dan Ibunya, menunggu kawanan Kera berlalu dari pandangannya. Setengah jalan Sunyono menulis, kawanan Kera tak terlihat batang hidungnya, berfikir sudah cukup aman dia melanjutkan langkahnya memijakan kakinya diatas akar-akar raksasa, dan sampailah Sunyono dijantung hutan, dimana sekarang dia sedang duduk mengenang perjalanan hidupnya.

Nampaknya pohon-pohon jati mulai meranggaskan daun-daunnya. Hutan mulai ramai dengan suara-suara yang jauh terdengar. Burung Elang mulai terbang rendah meninggalkan sarangnya. Kicauan burung mulai bersahutan didahan pohon-pohon, suasana hutan mulai ramai tapi Sunyono tak merasa ketakutan.Karena ia teguh dengan pendiriannya.
Anak kecil itu hanyut dalam lamunanya. Bayangan Ayah dan Ibunya memenuhi alam pikirannya. Tampak sajadah suci di bentangkan di depannya, lambaian halus mengantarnya menuju tempat dimana ia biasa berwudhu. Kerekan timba terdengar jelas di telinganya, kucuran air wudlu mengalir dengan derasnya. Dia berwudlu, membasuh anggota yang wajib dibasuh sebanyak tiga kali. Air kucuran itu mulai surut, dia membaca do’a semestinya dan kembali melangkahkan kakinya menuju tempat suci dimana sajadah yang biasa di pakainya di bentangkan….
“Astaghfirulloh hal a’dzim…..”
Sunyono terjaga dalam lamunanya, wajahnya yang kusut tak di sadari penuh dengan balutan air mata, ia menengok kekanan, kekiri dan kakinya mulai melangkah ia tampak bingung,entah apa yang dia cari. Sunyono melangkah ke pinggir hutan tapi akhirnya dia memasuki hutan lagi, mungkin kalau di waktu dua jam lebih dia berlari-lari dari hutan ke pinggir ke hutan lagi, kepinggir dan titik akhirnya ia berdiri dengan nafas yang tersengal-sengal di jantung hutan, keringatnya membasahi sekujur tubuhnya.
“Apa disini tidak ada air?” Tanya Sunyono pada dirinya sendiri.
“Haaaaa!!!!Bolak-balik ke pinggir dan ketengah hutan hanya mencari air!!!! Ck…..ck….ck…..
Sunyono lagi-lagi duduk di bawah pohon, mengusap keringatnya, dia lepas pecinya, dia luruskan kakinya dan tak lupa bibir mungilnya menyebut asma-Nya.
“Astaghfirullohhala’dzim….Astaghfirullohhala’dzim.”
Sunyono bangkit dari duduknya melangkah pelan menatap jalan di depannya matanya menengok kekanan kekiri, dan ke bawah. Pelan-pelan ia jongkok dan menepukkan kedua telapak tangannya di debu yang suci dia mulai tayamum mengusap anggota yang di haruskan Sunyono berdiri melangkah pelan memandang sekelilingnya.
“Dimana letak arah kiblat?”tanyanya dalam hati.
Untuk yang kesekian kalinya Sunyono terdiam, ia benar-benar bingung. Baginya sholat sunah adalah kewajiban itulah tuntutan orang tuanya.
“Allah Swt tahu keadaan hambanya, Ya Allah….hamba ingin sholat tapi hamba tidak tau arah kiblat, terimalah shalat hambamu ini ya Allah……”

Dengan kesungguhan hati, Sunyono membentangkan daun yang lebar di depannya, pandanganya ke bawah memulai sholat dhuha. Dia menempelkan telapak tanganya hidungnya juga jidadnya di atas daun lebar itu. Salam mengakhiri pertemuanya dengan penciptanya dzikir dan munajat do’a melampiaskan kerinduannya kepada Sang Khalik.
Air matanya kembali mengalir, kepedihan yang teramat dalam harus ia jalani. Hidup tanpa orang tua hidup sebatang kara, matanya menerawang jauh kemasa lalu dimana dia dan orang tuanya biasa bersama .
“Kalau kamu besar nanti kamu mau jadi apa?” Tanya ayahnya.
“Aku mau jadi ustadz Yah, biar aku jadi pintar ngaji…”
“Emang kalau mau pintar ngaji harus jadi ustadz…”
“Sunyono yang menampilkan gigi kuningnya, dengan lembut ayah dekap tubuh Sunyono, air mata beliau mengalir pikirannya menerawang ke depan membayangkan masa dimana anak semata wayangnya beranjak dewasa. Berharap Sunyono tumbuh menjadi laki-laki yang gagah, berjiwa besar dan hidupnya tak seperti dirinya yang hanya akan habis di makan penjajah. Sulit marasakan kebahagiaan. Beliau sangat berharap dimasa Sunyono dewasa, penjajah tak lagi berkutik dan Indonesia telah menjadi bangsa yang merdeka.
Ayahnya tak habis pikir, anak sekecil Sunyono mempunyai cita- cita yang begitu tinggi. Dalam keadaan genting itu dia masih bersemangat. Air mata ibu tak mampu lagi dibendung, buliran tetes air suci membasahi pipinya yang mulai keriput. Air mata ayah dan ibunya sama- sama deras.
Sunyono menyadari itu, perlahan dia tatap wajah keberanian ayahnya, lalu menatap wajah ibunya yang penuh kasih sayang. Dia hapus butiran kristal lembut ayah dan ibunya, Sunyono dekap tubuh ayahnya tak lupa dia cium pipinya, Sunyono cium telapak tangan ibunya, tak lupa ia kecup keningnya.

***

Saat mentari mulai muncul, menampakan sinarnya, kehidupan yang gelap mulai terlihat. Sunyono asyik sarapan dengan lauk garam sedangkan Ibunya tengah menyembunyikan makanan ditempat yang aman agar tentara Belanda tak menemukannya. Dan Ayahnya tengah menata dagangannya untuk dijual pada tentara Belanda dengan harga yang begitu murah . Selesai makan,Sunyono segera berlari pelan menuju rumah Pak Bupati.
Ayahnya pamit menjual dagangannya, ia berjalan pelan menuju rumah kediaman jenderal Belanda. Ditengah jalan beliau melihat Sunyono berlari membawa sehelai kertas leceknya dan satu pensil pendek yang mulai tumpul. Tubuhnya tak berbaju hanya mengenakan celana kolor dekil. Saking semangatnya, tak sengaja ia menabrak dagangan Belanda, ia jatuh. Pelototan mata menatapnya tajam, tampak kesal dirautnya. Sunyono ketakutan, tubuhnya gemetaran, ia duduk dikelilingi butiran beras yang berantakan. Pria bule itu tak berkata apa-apa, tapi lihatlah dia mulai mengeluarkan benda yang membuat seluruh penduduk ketakutan, peluru ! Sunyono tambah ketakutan. Ia mulai menangis, tak bisa dibayangkan peluru yang kejam itu melukai tubuhnya. Dia memejamkan mata, berdo’a berharap pelurunya meleset kearah yang salah Tapi…… DOOOOOORRRRRRRR!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Dengan gemetaran Sunyono membuka matanya, pria bule itu tampak tersenyum sinis. Sesosok tubuh laki-laki tergeletek didepan Sunyono, tubuh itu tampak lemas sekali, nadinya berhenti berdegup, kaos oblong putihnya dipenuhi cairan berwarna merah, seperti……DARAH!!!!Namun dibalik semua itu, bibirnya menyunggingkan senyum yang begitu indah. Sedang air mata Sunyono mengalir deras, isak tangisnya mulai bersahutan. Terkuras sudah suara Sunyono menjerit disela-sela tangisnya.

” Ayah……Ayah…..bangun Ayah bangun……” Sunyono menjerit sekeras-kerasnya.
Warga banyak yang mengelilingi Sunyono, yang tengah mengguncang-guncangkan tubuh Ayahnya. Kepedihan seperti ini sudah biasa terjadi, setiap hari pasti ada kematian tanpa diminta, penyiksaan, pemaksaan, pembunuhan menjadi ritual setiap hari. Dalam duka citanya itu, Sunyono tak bisa berhenti menangis, sedang pria bule yang kejam telah pergi entah kemana arahnya.

Suara tangis seorang perempuan tak jauh dari kerumunan mulai terdengar samar-samar. Dia langsung menghambur dibalik kerumunan. Jeritan yang melengking memecahkan suasana. Perempuan itu merangkuli tubuh yang tergeletak kaku. Dialah Ibu Sunyono, suaranya yang parau mulai melirih terlihat ia tak terima. Tubuhnya mulai lemas dan tergeletaklah dua insan tanpa sadar, Sunyono hanya duduk menjadi patung hidup. Air matanya terus mengalir isak tangisnya bersahutan.

Suara peluru melengking diudara, warga yang berkerumun kembali ketempat kerjanya masing-masing. Hanya tampak tiga insan ditengah jalan, dua tak sadar dan yang satu sadar. Suara sepatu mendekati tiga insan yang terdiam. Langkahnya mulai mendekat dan….Tangan kekar menyeret pergelangan tangan Ibu Sunyono, Sunyono sadar ia berusaha mencegahnya tapi Sunyono malah didorong dan jatuh ketubuh Ayahnya. Sunyono benar-benar sangat tersiksa, ia tinggalkan mayat Ayahnya dan berlari tak tentu arah.
Itulah kesedihannya kemarin kesedihan yang takan berujung. Jika ingat cita-citanya, tak sedikit air matanya mengalir. Tak dapat dibayangkan anak kecil yang dekil, kurus kering tak berbaju dan hanya hidup sebatang kara tapi ia selalu berharap Tuhan memberi secercah cahaya dimasanya. Berharap nyawanya masih melekat lama dalam raganya. Berharap Allah Swt. memberikan kekuatan lebih padanya.
“YA….Allah……….Hamba ingin tetap di jalanmu , buatlah hamba selalu berharap jauh dari putus asa…….AMIN……..!!!!!!!!!”

About OSIS Publish

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.